tag:blogger.com,1999:blog-34222508545876640662024-02-08T09:33:55.108-08:00Imaji Seorang PejalanBerisi Refleksi, Opini, sesekali MimpiUnknownnoreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-3422250854587664066.post-33470619601442483422018-07-12T02:04:00.002-07:002018-07-13T19:27:20.949-07:00Ramadan dan Mudik Menuju Fitrah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<i>"Semua ibadah anak manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untukKu dan Aku yang akan membalasnya"</i> Hadist Qudsi dengan redaksi di atas menjadi populer sebelum dan saat puasa. Terma puasa dari anjuran, keutamaan bahkan ancaman menjadi membahana di setiap sudut. Di penghujung Ramadan, narasi puasa dengan redaksi serupa muncul kembali dengan modifikasi adakah puasa kita telah sampai pada garis finis yang berbuah takwa? <br />
<br />Pertanyaan retoris tersebut tak perlu kita jawab, karena buah Ramadan akan kita nikmati dalam sebelas bulan ke depan. Bila pupuk dan aturan pakai Ramadan kita praktikkan dengan baik, tentu ranum dan segarnya buah Ramadan tak perlu khawatir kita nikmati, begitu juga sebaliknya atau bahkan tidak berbuah, <i>naudzubillah </i>! <br />
<br />Ritual sosial mudik juga menjadi tradisi dalam masyarakat kita. Mudik adalah kembali kepada asal setelah sekian lama meninggalkan atau bahkan menanggalkannya baik secara personal maupun sosial. <br />
<br />Mudik adalah perjalanan rindu untuk kembali dan berbagi. Ketika mudik seyogyanya kita telah melaksanakan puasa yang mengajarkan <i>al-imsak </i>(menahan diri) dari segala sesuatu yang dilarang. Setelah latihan menahan diri waktunya ujian diri, sejauh mana proses puasa membuahkan hasil. Hingga ritus menghiasi jiwa dan raga dengan senyum sumringah, mata berbinar dan tangan terbentang menjadi agenda utama, tak sekedar menghiasi raga dengan glamornya duniawi. <br />
<br />Berbagi maaf dan berbagi kebahagiaan merupakan esensi mudik jiwa-raga. Idul Fitri adalah perayaan mudik seorang hamba kepada fitrah kemanusiaan yang dianugerahkan Allah. Berbagi tak hanya zakat dan infaq, namun lebih esensial yaitu maaf. Sebagaimana sabda nabi bahwa setiap kita dilahirkan dalam keadaan suci, jiwa dan raga. Selamat bertakbir dan selamat mudik kepada kesucian diri. <i>Wallahu a'la wa a'lam</i></div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3422250854587664066.post-22293520942248223492010-03-07T14:36:00.000-08:002010-03-07T14:45:46.966-08:00Warna-warni ProsesSeperti berjalan mengitari jagad raya. Ya, sebut saja begitu. Berbekal sebuntal geram dan segenggam angan. Berjalan dengan semua dimensinya tentu punya tujuan, yaitu sampai dengan selamat. <br /><br />Begitu juga dengan perjalanan hidup, ia juga punya akhir. Ada muaranya. Orang bilang, ketika akan memulai sesuatu, bayangkanlah akhirnya. Pikirkan selesainya. Sebelum berjalan sudah sampai tujuan, begitu kira-kira. <br /><br />Filosofi ini bagus juga unik. Filosofi selesai sebelum usai, begitu saya menyebutnya. Tapi, saya lebih percaya dengan proses. Lebih nyaman dengan menyelami setiap inci dari proses selesai menjadi benar-benar usai. <br /><br />Dalam menyelami proses, kita tak mesti lurus ke depan, kadangkala tergelitik untuk berbelok ke kanan dan sesekali mencicipi panorama di kiri. Penuh warna rasanya bila terus bercumbu dengan panorama kiri-kanan. Tentunya, tanpa alpa bahwa kita punya tujuan. Kita punya muara. <br /><br />Panorama kiri-kanan itulah yang seringkali bikin gagap. Membuat jarak tempuh menjadi panjang dan lama. Menjadi panjang tapi penuh warna, ya saya suka itu. Melengkapi perjalanan dengan cerita, bahwa di perempatan itu ada ini atau di pertigaan ini ada itu. <br /><br />Tapi, sekali lagi saya tak pernah lupa, bahwa suatu saat saya harus sampai di muara, harus berteduh di balik mayapada. Dan tentunya harus menunaikan semuanya dengan purnausaha. Ya, hanya usaha karena sempurna hanya milik-Nya.Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3422250854587664066.post-19949251939506872162009-05-13T10:28:00.000-07:002009-05-13T11:02:18.696-07:00AibDalam tradisi sajak arab ada yang disebut <span style="font-style:italic;">ritsa'</span>. Ratapan, ya begitulah adanya syair itu. Mendayu-dayu atau <span style="font-style:italic;">mellow</span>, seperti irama musik yang meliuk tapi tak membahana. Umumnya, syair jenis ini dibuat karena merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga. Salam pembukanya adalah kenangan. Biasanya, kenangan pada hal-hal yang melekat padanya, bisa saja berupa puing rumah, repihan surat atau hanya serpihan imaji. <br /><br />Hilang benda bisa dicari, hilang rasa kemana hendak digali. Semangat inilah yang membuat para pujangga mencipta syair, awalnya memuji (<span style="font-style:italic;">madh</span>) lalu berakhir ratapan (<span style="font-style:italic;">ritsa'</span>). Mereka, dengan segenap jiwa mencipta, namun ujungnya hanya dicibir gila dan melanggar norma, hingga tak jarang berakhir nestapa.<br /><br />'Urwah bin Hazm (650 H) adalah seorang pujangga yang berkalang tanah ketika belia. Penyebabnya bukanlah liver atau penyakit kronis lainnya. Ia hanya mendamba 'Afra, putri pamannya.<br /><br />Mulanya, 'Urwah mendendang syair untuk memikat 'Afra. Sebagai belia, keduanya terpikat rasa. Nama 'Afra menjadi tenar dalam lantunan syair 'Urwah. Pendudukpun mulai gaduh. Pasalnya, 'Urwah berani menyematkan cinta dalam setiap syairnya. Tak ayal, pendudukpun ribut dan syair 'Urwah menjadi buah bibir.<br /><br />'Urwah memberanikan diri meminang sepupunya. Tapi, apa hendak dikata, sang paman tak terima.<br /><br />Sang Paman meminta 'Urwah mahar yang tak mungkin dibayar. Delapan puluh ekor unta! Jumlah yang fantastis, maka mengalirlah 'curhat' 'Urwa pada 'Afra:<br /><br /><span style="font-style:italic;">Duhai 'Afra...<br />Delapan puluh paman bebankan padaku, sedang diriku hanya miliki delapan <br />Aku dibebani sesuatu yang mustahil, meski kedua tanganku menjelma gunung menjulang sekalipun<br />Hatiku seperti terselip di sayap merpati dan kepakannya membuatku berguncang<br /></span><br />Pamannya tahu, 'Urwah tak mampu membayar mahar sebanyak itu. Ia menjelma raja meski pada keponakannya. 'Urwah yang yatim sejak balita, hanya bisa berdendang meratap sepi.<br /><br />Bagi penduduk arab, kehormatan adalah segalanya. 'Urwah dinilainya telah merobek kehormatan itu. 'Urwah gegabah berdendang. Menggulung rindu dan menyematkan kata cinta untuk 'Afra. Hingga tetangganya ramai berdendang syair itu. "Ini aib, dan itu tak boleh terjadi" begitu pikir sang paman.<br /><br />'Urwah pasrah dan tersungkur. Ia jatuh sakit dan tutup usia. 'Afrapun tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya bersanding dengan lelaki lain pilihan ayahnya. 'Afra meratap di depan liang kekasihnya, lalu jatuh tak sadarkan diri untuk selamanya. Tragis! Tapi, begitulah norma. Seringkali buta, hingga tak jarang nyawa taruhannya.Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3422250854587664066.post-91075384569413801542009-03-31T05:31:00.000-07:002009-03-31T05:32:18.561-07:00SenjaHari bergelimang cerita. Dentum irama beradu gelegak tawa. Hari itu, langit cerah, hingga tak sekeping awanpun memayungi bumi. Derit ponsel berbunyi membuatnya berhenti. Menatap penuh harap siapa gerangan. Ahai DIA! Senyumnya merekah wajahnya sumringah. DIA mengajaknya bertemu. melepas penat di tepi pantai. Ya, meski hingar. mereka tak peduli. toh dunia milik mereka kini.<br /><br />DIA mengajaknya bukan untuk bercumbu. Berpagut mesra atau sekedar berbagi sembilu. DIA hanya ingin berjalan mengitari pesisir. Membiarkan kakinya telanjang. Menyilahkan disapa ujung ombak. Amboi asyiknya!<br /><br />DIA, sekali lagi tak minta janji seperti politisi. Ah, DIA! Mereka benar-benar berbagi. "Dewiku" ucap lelaki itu. Tersipu DIA menjawab "Biarlah kata itu kau simpan, tanpa itu kita tetaplah sejoli".<br />Aduhai DIA!<br /><br />Mereka terus berjajar, menjajakan kaki kepada ujung ombak. Sesekali, tawa mereka pecah. Bukan lelucon, tapi senandung tentang masa depan. "Andai bisa melihat masa depan, kuingin di sini" Lelaki itu berujar. "Tak usahlah berandai-andai, bukankah itu sebuah tipu" DIA kembali berucap. Ah DIA!<br /><br />Waktupun merayap. Mereka masih saja berdua. Bila tak beradu mimpi, maka memacu imaji. "Aku ingin melihatmu menyulam khayal" DIA kembali bicara. "Ah, khayalku lebur bersama derit waktu"Jawab lelaki itu masam. DIA tersenyum, lalu menatapnya lekat, DIApun berujar"Karna itu, aku ingin menjadi pengebukmu". Ah DIA!<br /><br />"Bila usia tak mengenal angka-angka, biarlah kita di sini selamanya" lelaki itu kembali bergumam. Lalu, mereka larut dalam hening. Di atas sana, senandung lirih Muadzin memanggil untuk bergegas. DIA terisak, jiwanya dipenuhi haru. Sementara, Lelaki itu bergegas menengadahkan tangan dan berucap:<br /><br /><span style="font-style: italic;">Wahai dermaga siang</span><br /><span style="font-style: italic;">kulantunkan di hadapmu 'sebuah ikrar</span><br /><span style="font-style: italic;">utuh lebur seluruh</span><br /><span style="font-style: italic;">buncah rasa turut kutitip</span><br /><span style="font-style: italic;">lambat waktu terasa</span><br /><span style="font-style: italic;">lembut angin menyapa</span><br /><span style="font-style: italic;">hingga petang menyelinap</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Namun...</span><br /><span style="font-style: italic;">aku 'tak 'kan pernah ciut</span><br /><span style="font-style: italic;">karna asa 'tlah kutaut</span><br /><span style="font-style: italic;">dua hati telah terpaut</span><br /><span style="font-style: italic;">altar itu bergetar</span><br /><span style="font-style: italic;">nelangsa jatuh luruh</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Ah...senja</span><br /><span style="font-style: italic;">memang hanya padamu kuttitip</span><br /><span style="font-style: italic;">benam ikrarku bersama pendarmu</span><br /><span style="font-style: italic;">agar tak luluh tertimpa pekat</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3422250854587664066.post-36832804939941719652009-02-28T07:27:00.000-08:002009-03-02T07:50:37.806-08:00Enam Sembilan<p><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">Warna dominan tubuhnya kuning menyala. Garis hijau tipis menjadi pemanis. Lalu, ada warna oranye di bagian bawah. Paduan warna terang yang unik. Ukurannya tak seberapa. Hanya dua puluh tiga kursi tersedia. Di sisi kursi pak sopir hanya ada satu kursi. Lalu, berderat kebelakang, di sisi kiri dan kanan adalah kursi penumpang. bagian depan kacanya tertera angka 69 dengan ukuran jumbo. Disamping kiri-kanannya tertulis tujuan bus itu. Katameah di kiri dan Hayyu ‘Asyir di kanan. Samping kanan pintu masuk tertulis </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">haiatun naql lil mudun al-‘umraniyah jadidah</span></span></span> (Bus angkutan untuk pemukiman baru).<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span></p><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">Ketika akan pulang dari arah Hayyu ‘Asyir, saya selalu mencari bus dengan tipe di atas. Di halte ini, semua bus mempunyai spesifikasi itu. Tapi, setiap bus mempunyai nomor dengan tujuan berbeda dan enam sembilan adalah yang saya cari. Selain tarif ongkos yang murah, bus ini ‘nyaman’, maklum masih terbilang baru. Ia juga yang bisa membuat saya duduk manis, sekali duduk pasang </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">earphone</span></span></span> lalu sampai rumah.<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span>Malam ini, saya benar-benar sendiri. Tak ada satupun warga Asia yang menungu di halte bus. Setelah Enam Sembilan tiba, saya berlari kecil menyongsongnya. Posisi menentukan prestasi begitu kata orang, tapi di dalam bus tentunya posisi menentukan kenyamanan.<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span>Adalah menjadi maklum di Kairo, bila ingin duduk manis di bus. Carilah tempat duduk samping jendela dan agak ke belakang. Bukan tanpa sebab, warga Mesir adalah orang-orang yang punya sensitifitas tinggi, toleran dan perhatian. Bila duduk di depan, posisi kita ‘terancam’. Dalam artian, sewaktu-waktu kita harus siap merelakan kursi untuk ibu-ibu, manula atau orang cacat. <span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">Kalau tidak demikian, berarti kita memilih posisi ‘terancam’. Posisi ‘terancam’ bila duduk di depan atau dalam keadaan berdiri sekalipun. Berdiri ‘terancam’ bila berdiri dengan kaum hawa di kanan-kiri. Wah, bisa nggak leluasa gerak. Kesentuh sedikit, kita akan mendapatkan pelototan. Kalau kebanyakan, bisa-bisa jadi makian. Ya, begitulah kaum hawa Mesir memang sensi, apalagi akhir-akhir ini </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">at-taharrusy al-jinsi</span></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"> sedang marak (kalau di Amrik dikenal dengan </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">Sexual Harrassment</span></span></span>). Saya selalu menghindari posisi dikira hidung belang ini. Tak hanya orang asing, pribumi juga sering menjadi omelan empuk kaum hawa, terutama ibu-ibu yang sudah berumur.<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span>Malam ini, saya benar-benar sendiri. Duduk di deretan belakang. Satu bangku sebelum akhir. Alunan Gita Gutawa dengan lagu sempurna telah lama mengalir dari mp3 putih di saku jaket. Suasana bus hampir penuh ketika itu. Tiba-tiba ada seorang laki-laki. Mungkin baru 35 tahun. Tapi, kerut di wajahnya tak menunjukkan itu. Dia datang menggandeng seorang wanita. Jelas itu istrinya, sedang menggendong bayi, mungkin pulang berobat. Kerut di wajahnya makin tampak ketika melihat kursi bus hampir penuh. Hanya ada dua kursi kosong di samping kanan saya. Itupun tak bersebelahan. Jadi mereka tak bisa duduk berdua. Kursi di samping sayapun masih kosong. Akhirnya, saya persilahkan pasangan itu duduk di kursi saya.<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span>Sepuluh menit kemudian, pak sopir mulai keliling menagih ongkos dan diganti selembar karcis. Untuk bus ukuran kecil, memang tak ada kondektur, jadi sopir punya tugas ganda. Seluruh kursi telah terisi, beruntung saya pindah ke paling belakang, karena beberapa saat sebelum jalan, ada perempuan berumur yang berdiri tepat di samping kursi pertama saya. Si ibu tak mungkin minta kursi, karena yang duduk sedang gendong bayi, lagi sakit pula. Minta kursi ke belakang ya nggak mungkin lah (sekali-kali kek berdiri hehehe).<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span>Penumpang bus ini beragam. Dari pria parlente berdasi hingga nenek bawa panci. Tak hanya itu, dari 'aksesoris' yang dibawa pun aneh-aneh. Penumpang, umumnya adalah pekerja bangunan di kawasan baru. Sejak beberapa tahun ini, Mesir sedang menggalakkan pemekaran wilayah besar-besaran. Gurun-gurun yang tandus disulap menjadi pemukiman nyaman berkelas. Uniknya, para pekerja kasar ini membawa peralatan mereka ke dalam bus. Palu godam, paku baja yang besar untuk beton, mesin kikir dan masih banyak peralatan lain. Belum lagi barang belanjaan, seperti sayuran, roti hingga telor juga mereka bawa. Intinya bus ini memang seru!<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">Bus melaju dengan kecepatan sedang. Musik dari mp3 terus mengalun. Di pojok belakang terdapat lima kursi. Saya paling ujung. Dua kursi di samping saya dua remaja Mesir sedang asyik bercengkrama </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">ngomong</span></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"> kerjaan, tampaknya mereka bersaudara. Begitu pula rekan di sampingnya, mereka asyik tertawa entah apa yang menjadi bahannya. Tepat di depannya remaja lain sedang asyik menimang NOKIA N73, saya dapat menerka apa yang akan dilakukannya. Pelan tapi pasti, dia pencet sana-sini dan akhirnya mengalunlah suara cempreng Hakim, seorang penyanyi musik </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">sya’bi</span></span></span> asal Aswan itu. <span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">Musik </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">Sya’bi</span></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"> disenangi laiknya dangdut di indonesia. Musiknya gaduh, suara gendang dan Oud (gitar arab) dipadu dengan senar melodi dicabik-cabik tentunya dengan irama yang memekakkan telinga. Dia tampak senang, penumpang yang lainpun terlihat cuek mendengar suara Hakim dari </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">load speaker</span></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"> N73. Sementara itu, sopir berteriak </span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">elli thali’ yab’at</span></span></span>. “Woii..yang baru naik, ongkosnya” begitu kira-kira teriakan sopir itu. <span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span>Teriakan sopir bukan tanpa alasan. Tapi, bukan pula takut penumpang tak bayar. Dia hanya sekedar mengingatkan karena penumpang yang berjubel. Warga mesir terkenal jujur, tak ada kondektur seperti inipun mereka tetap jujur bayar. Bila telah duduk dan belum bayar, mereka akan mencolek rekan di depannya untuk memberikan ongkos ke sopir. Begitu pula bila ada sisa uang atau biasa kita sebut kembalian. Sopir memberikannya pada penumpang dibelakangnya hingga sampai pada si empunya. Semua itu berjalan biasa dan tertib. Tak ada sisa yang tak sampai meski duduk di kursi paling belakang sekalipun.<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span>Namun, bila penumpang berjubel, sopir bisa jadi menghentikan mobil dan menertibkan penumpang seraya menagih ongkos. Bukan hanya takut tak bayar, jumlah penumpang di luar kemampuan angkut, jadi harus benar-benar ditertibkan. Idealnya bus diisi maksimal 30 orang. Tapi, bila sedang ramai 40 orang bisa berjejal di dalam bus.<span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-size:100%;">Begitulah dinamika enam sembilan. Bus kaum urban di pinggiran Kairo. Seorang pakar psikologi Mesir; Dr. Ahmed ‘Ukasyah mengatakan bahwa tipologi umum warga Mesir adalah kesederhanaan dalam segala hal, suka berbagi, sensitifitas yang tinggi dan tentunya kekerabatan yang kental. ‘Ukasyah benar dan saya melihatnya di sini, di Bus enam sembilan. Bus aman dengan isi beragam, dan tentunya bikin saya lebih tenang dengar alunan musik mp3, ah sudahlah halte depan saya turun dan sampai jumpa enam sembilan. </span></span>Unknownnoreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-3422250854587664066.post-89119386555814549612009-02-21T03:01:00.000-08:002009-02-22T09:08:17.601-08:00Sarapan Pagi Masisir(Opini Satir Untuk Laporan ‘Ke Universitas Al-Azhar Ketika’)<br /><br /><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:verdana;">Bila ingin bersantap pagi, seperti laku musim dingin, biasanya sajiannya adalah sepinggan roti, sekaleng selai, dan sekotak keju. Oh ya, tak lupa pula secangkir teh biasa menemani. Entah laku ini sekedar mengusir dingin atau ritual menyambut pagi menjelang jam kuliah. Saya juga tak tahu! Adanya ritual inipun saya tak jelas, di belahan Kairo mana, pelosok Nasr City kah? Nun Jauh di Dokki sana atau di Wisma Duta? <br /><br />Dua hari ini memang ada yang berbeda dengan santap pagi Masisir (Mahasiswa Indonesia Mesir). Tak <span style="font-style:italic;">nyana</span> musim dingin yang akan beranjak semi, ternyata tiba-tiba berubah hangat bahkan panas. Saya kira ini bukan hanya karena isu pemanasan global, tapi lebih dari itu. Semua berubah! <br /><br />“Wow! Jawa Pos nulis tentang Masisir euy” teriak Alen<br />“Pasti Ayat-Ayat Cinta, kalo nggak ya Ketika Cinta Bertasbih” Seloroh Aming<br />“Bukan, bukan, tuh ada foto mahasiswa lagi pegang buku, trus ada yang lagi mejeng di depan Benteng Quit Bey Alexandria” Timpal Andika<br />“Wah seru dong, bisa mejeng di koran, dapat berapa ya mereka?” kali ini Dirman yang nyeletuk.<br />“Enak ya jadi narasumber, bisa masuk koran, trus sms dunk ama ortu” Diki ikut nimbrung.<br />“Hebat! Dubes kita juga jadi narasumber tuh, siapa dulu bapak kita, A. M Fakhri eh Fachir maksudku” kata Firman bangga.<br /><br />Wah pokoknya gaduh deh! Itu baru suara satu flat, belum dengung asrama buu’ts Abbasea atau kasak-kusuk penghuni Wisma Nusantara. Wow, dijamin halal eh maaf dijamin menggelegar. <br /><br />Adalah Kardono Setyorahmadi, seorang wartawan Jawa Pos sedang beraksi. Ia yang baru pulang dari Mesir bikin laporan ‘selayang pandang’. Judulnya pun unik, ‘Ke Universitas Al-Azhar Ketika’. Laporannya dipecah menjadi dua. <a href="http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=53017">Satu membabat studi</a>, satu lagi <a href="http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=53185">membidik bisnis</a> tambal ban eh maaf, tambal biaya hidup dengan berbisnis maksud saya. <br /><br />Laiknya Dahlan Iskan datang kunjungan. Dia sering bikin laporan berseri (biasanya setelah judul ada keterangan berapa banyak laporan itu ditulis, dua, tiga atau lebih). Pun, Kardono dia ngekor dedengkot JP itu. Bawa oleh-oleh untuk redaktur, biar benar-benar terasa kalau baru datang kunjungan. Begitu kira-kira maksudnya. <br /><br />Dari data Kardono (<span style="font-style:italic;">tepatnya, data yang Kardono himpun, begitu kira-kira</span>), tercatat 60 persen lebih mahasiswa gagal studi (<span style="font-style:italic;">pelototi kata LEBIH</span>). Rupanya dia tak sembarangan ambil data, ini adalah kutipan tak langsung Penghuni Garden City. Tak ayal, paragraf berikutnya sang empu bersabda: <br /><br />''Ini tentu saja memprihatinkan. Belum ada perubahan sejak saya menjadi Dubes di sini pada Oktober 2007 lalu,'' kata Duta Besar RI untuk Mesir Abdurrahman Muhammad Fachir dengan nada masygul. <br /><br />“Wah gimana ini, waktu <a href="http://ppmimesir.info/index.php?option=com_content&task=view&id=74&Itemid=27">takrim najihin</a> bilangnya ada peningkatan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, apa karena di depan Syeikh Azhar bilang gitu, trus kalo depan Kardono jadi keder?” si Alen mulai cemberut. <br />“Terus takrim najihin yang banyak diadain itu untuk apa ya, banyak yang mumtaz loh, trus jayyid jiddan juga banyak, jayyid juga lumayan, terus kemana ya kok nggak ditulis?” Amingpun berubah mimik.<br /><br />“Ehm...Fiki Ardana dan Fatkhur Rohman ini sapa ya, mereka mahasiswa baru atau bangun tidur terus wawancara, kok ya kayak wawancara sama buletin kekeluargaan, wah nggak ngerti aku” imbuh Andika dengan napas tersengal.<br /> <br />Nah loh, jadi makin kacau deh! (<span style="font-style:italic;">yang lain tampak larut baca laporan Kardono, tapi herannya mulut mereka manyun kiri-kanan</span>). Mungkin mereka khusuk, tapi tak asyik masyuk, makanya ingin segera tuntaskan laporan itu.<br /><br />Dalam laporan kedua, Kardono membidik bisnis, karenanya ia bermain matematika. Menurut catatan Kardono, setidaknya lebih dari separo dari sekitar 5.000 mahasiswa Indonesia di sana menggeluti bisnis pemandu wisata (<span style="font-style:italic;">sekali lagi, contreng satu kali kata LEBIH</span>). Setelah itu, dia bermain kalkulasi banding harga. Menurutnya, memakai jasa mahasiswa tarifnya standar dan lebih nyaman. Setelah <span style="font-style:italic;">ngalor-ngidul</span> tentang tarif, tiba-tiba Kardono melompat, seraya menghitung laba rental mobil, jumlah beasiswa, biaya hidup, gaji jadi lokal staff dan kerja sampingan lainnya. <br /><br />“Kalo tarif mahasiswa standar, terus...yang mahal pake jasa apa ya?” Dirman tiba-tiba memecah sunyi.<br />“Pake jasa <span style="font-weight:bold;">Keledai Travel</span> kalee, kan keledainya bisa ngomong?” jawab Diki sekenanya.<br />“Hush kamu tuh, aku serius ini!” umpat Dirman jengkel.<br />“Sudah, sudah! Nggak usah ribut, aku lagi ngebayangin naik sepeda motor sport sambil nenteng lap top keluaran terbaru sama nerima uang bersih 500 pound, bahkan katanya bisa lebih” Firman menimpali.<br />“Memangnya yang bisa gitu sampai lebih separo ya? Wong yang antri di Jam’iyah Syar’iyah untuk dapat bantuan saja ribuan jumlahnya, kok bisa-bisanya yah lebih dari separoh” Alen kembali angkat bicara.<br /><br />Nampaknya situasi semakin tak terkendali. Kardono benar-benar bikin ‘menu baru’ untuk sarapan Masisir. Adakah Kardono tahu kegelisahan mereka semua? <br /><br />Ah, untuk menjawab kegelisahan Alen, Aming dan Andika Cs di atas, berbanding lurus dengan menjawab kebingungan saya memetakan pemakan Roti, selai, keju dan secangkir teh di awal tulisan. Tentu bingung, bila mencarinya di pelosok Nasr City, apalagi pagi-pagi. Tentu penghuni Dokki tak sama dengan penduduk Garden City (<span style="font-style:italic;">mana dunk kejelian, KEULETAN dan AKURASI penulis laporan</span>). Sebelum berakhirnya cerita ini, baiknya jawablah pertanyaan berikut dengan MENCONTRENG satu kali pada pilihan yang tersedia:<br />Setelah membaca dialog di atas, sebenarnya siapakah aktor utama yang sedang <span style="font-style:italic;">keblinger, ngelindur</span>, atau sedang buang angin?<br /><br />A. Alen, Aming dan Andika Cs<br />B. Nara Sumber Kardono <br />C. Kardono Setyorahmadi<br />D. Penulis opini satir </span></span>Unknownnoreply@blogger.com4