13 Mei 2009

Aib

Dalam tradisi sajak arab ada yang disebut ritsa'. Ratapan, ya begitulah adanya syair itu. Mendayu-dayu atau mellow, seperti irama musik yang meliuk tapi tak membahana. Umumnya, syair jenis ini dibuat karena merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga. Salam pembukanya adalah kenangan. Biasanya, kenangan pada hal-hal yang melekat padanya, bisa saja berupa puing rumah, repihan surat atau hanya serpihan imaji.

Hilang benda bisa dicari, hilang rasa kemana hendak digali. Semangat inilah yang membuat para pujangga mencipta syair, awalnya memuji (madh) lalu berakhir ratapan (ritsa'). Mereka, dengan segenap jiwa mencipta, namun ujungnya hanya dicibir gila dan melanggar norma, hingga tak jarang berakhir nestapa.

'Urwah bin Hazm (650 H) adalah seorang pujangga yang berkalang tanah ketika belia. Penyebabnya bukanlah liver atau penyakit kronis lainnya. Ia hanya mendamba 'Afra, putri pamannya.

Mulanya, 'Urwah mendendang syair untuk memikat 'Afra. Sebagai belia, keduanya terpikat rasa. Nama 'Afra menjadi tenar dalam lantunan syair 'Urwah. Pendudukpun mulai gaduh. Pasalnya, 'Urwah berani menyematkan cinta dalam setiap syairnya. Tak ayal, pendudukpun ribut dan syair 'Urwah menjadi buah bibir.

'Urwah memberanikan diri meminang sepupunya. Tapi, apa hendak dikata, sang paman tak terima.

Sang Paman meminta 'Urwah mahar yang tak mungkin dibayar. Delapan puluh ekor unta! Jumlah yang fantastis, maka mengalirlah 'curhat' 'Urwa pada 'Afra:

Duhai 'Afra...
Delapan puluh paman bebankan padaku, sedang diriku hanya miliki delapan
Aku dibebani sesuatu yang mustahil, meski kedua tanganku menjelma gunung menjulang sekalipun
Hatiku seperti terselip di sayap merpati dan kepakannya membuatku berguncang

Pamannya tahu, 'Urwah tak mampu membayar mahar sebanyak itu. Ia menjelma raja meski pada keponakannya. 'Urwah yang yatim sejak balita, hanya bisa berdendang meratap sepi.

Bagi penduduk arab, kehormatan adalah segalanya. 'Urwah dinilainya telah merobek kehormatan itu. 'Urwah gegabah berdendang. Menggulung rindu dan menyematkan kata cinta untuk 'Afra. Hingga tetangganya ramai berdendang syair itu. "Ini aib, dan itu tak boleh terjadi" begitu pikir sang paman.

'Urwah pasrah dan tersungkur. Ia jatuh sakit dan tutup usia. 'Afrapun tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya bersanding dengan lelaki lain pilihan ayahnya. 'Afra meratap di depan liang kekasihnya, lalu jatuh tak sadarkan diri untuk selamanya. Tragis! Tapi, begitulah norma. Seringkali buta, hingga tak jarang nyawa taruhannya.

1 komentar:

@yo' el-Halimy mengatakan...

Ada makna mendayu di setiap racikan kata anda. Aku merasakannya, di sini!