12 Juli 2018

Ramadan dan Mudik Menuju Fitrah

"Semua ibadah anak manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untukKu dan Aku yang akan membalasnya" Hadist Qudsi dengan redaksi di atas menjadi populer sebelum dan saat puasa. Terma puasa dari anjuran, keutamaan bahkan ancaman menjadi membahana di setiap sudut. Di penghujung Ramadan, narasi puasa dengan redaksi serupa muncul kembali dengan modifikasi adakah puasa kita telah sampai pada garis finis yang berbuah takwa?

Pertanyaan retoris tersebut tak perlu kita jawab, karena buah Ramadan akan kita nikmati dalam sebelas bulan ke depan. Bila pupuk dan aturan pakai Ramadan kita praktikkan dengan baik, tentu ranum dan segarnya buah Ramadan tak perlu khawatir kita nikmati, begitu juga sebaliknya atau bahkan tidak berbuah, naudzubillah !

Ritual sosial mudik juga menjadi tradisi dalam masyarakat kita. Mudik adalah kembali kepada asal setelah sekian lama meninggalkan atau bahkan menanggalkannya baik secara personal maupun sosial.

Mudik adalah perjalanan rindu untuk kembali dan berbagi. Ketika mudik seyogyanya kita telah melaksanakan puasa yang mengajarkan al-imsak (menahan diri) dari segala sesuatu yang dilarang. Setelah latihan menahan diri waktunya ujian diri, sejauh mana proses puasa membuahkan hasil. Hingga ritus menghiasi jiwa dan raga dengan senyum sumringah, mata berbinar dan tangan terbentang menjadi agenda utama, tak sekedar menghiasi raga dengan glamornya duniawi.

Berbagi maaf dan berbagi kebahagiaan merupakan esensi mudik jiwa-raga. Idul Fitri adalah perayaan mudik seorang hamba kepada fitrah kemanusiaan yang dianugerahkan Allah. Berbagi tak hanya zakat dan infaq, namun lebih esensial yaitu maaf. Sebagaimana sabda nabi bahwa setiap kita dilahirkan dalam keadaan suci, jiwa dan raga. Selamat bertakbir dan selamat mudik kepada kesucian diri. Wallahu a'la wa a'lam

07 Maret 2010

Warna-warni Proses

Seperti berjalan mengitari jagad raya. Ya, sebut saja begitu. Berbekal sebuntal geram dan segenggam angan. Berjalan dengan semua dimensinya tentu punya tujuan, yaitu sampai dengan selamat.

Begitu juga dengan perjalanan hidup, ia juga punya akhir. Ada muaranya. Orang bilang, ketika akan memulai sesuatu, bayangkanlah akhirnya. Pikirkan selesainya. Sebelum berjalan sudah sampai tujuan, begitu kira-kira.

Filosofi ini bagus juga unik. Filosofi selesai sebelum usai, begitu saya menyebutnya. Tapi, saya lebih percaya dengan proses. Lebih nyaman dengan menyelami setiap inci dari proses selesai menjadi benar-benar usai.

Dalam menyelami proses, kita tak mesti lurus ke depan, kadangkala tergelitik untuk berbelok ke kanan dan sesekali mencicipi panorama di kiri. Penuh warna rasanya bila terus bercumbu dengan panorama kiri-kanan. Tentunya, tanpa alpa bahwa kita punya tujuan. Kita punya muara.

Panorama kiri-kanan itulah yang seringkali bikin gagap. Membuat jarak tempuh menjadi panjang dan lama. Menjadi panjang tapi penuh warna, ya saya suka itu. Melengkapi perjalanan dengan cerita, bahwa di perempatan itu ada ini atau di pertigaan ini ada itu.

Tapi, sekali lagi saya tak pernah lupa, bahwa suatu saat saya harus sampai di muara, harus berteduh di balik mayapada. Dan tentunya harus menunaikan semuanya dengan purnausaha. Ya, hanya usaha karena sempurna hanya milik-Nya.

13 Mei 2009

Aib

Dalam tradisi sajak arab ada yang disebut ritsa'. Ratapan, ya begitulah adanya syair itu. Mendayu-dayu atau mellow, seperti irama musik yang meliuk tapi tak membahana. Umumnya, syair jenis ini dibuat karena merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga. Salam pembukanya adalah kenangan. Biasanya, kenangan pada hal-hal yang melekat padanya, bisa saja berupa puing rumah, repihan surat atau hanya serpihan imaji.

Hilang benda bisa dicari, hilang rasa kemana hendak digali. Semangat inilah yang membuat para pujangga mencipta syair, awalnya memuji (madh) lalu berakhir ratapan (ritsa'). Mereka, dengan segenap jiwa mencipta, namun ujungnya hanya dicibir gila dan melanggar norma, hingga tak jarang berakhir nestapa.

'Urwah bin Hazm (650 H) adalah seorang pujangga yang berkalang tanah ketika belia. Penyebabnya bukanlah liver atau penyakit kronis lainnya. Ia hanya mendamba 'Afra, putri pamannya.

Mulanya, 'Urwah mendendang syair untuk memikat 'Afra. Sebagai belia, keduanya terpikat rasa. Nama 'Afra menjadi tenar dalam lantunan syair 'Urwah. Pendudukpun mulai gaduh. Pasalnya, 'Urwah berani menyematkan cinta dalam setiap syairnya. Tak ayal, pendudukpun ribut dan syair 'Urwah menjadi buah bibir.

'Urwah memberanikan diri meminang sepupunya. Tapi, apa hendak dikata, sang paman tak terima.

Sang Paman meminta 'Urwah mahar yang tak mungkin dibayar. Delapan puluh ekor unta! Jumlah yang fantastis, maka mengalirlah 'curhat' 'Urwa pada 'Afra:

Duhai 'Afra...
Delapan puluh paman bebankan padaku, sedang diriku hanya miliki delapan
Aku dibebani sesuatu yang mustahil, meski kedua tanganku menjelma gunung menjulang sekalipun
Hatiku seperti terselip di sayap merpati dan kepakannya membuatku berguncang

Pamannya tahu, 'Urwah tak mampu membayar mahar sebanyak itu. Ia menjelma raja meski pada keponakannya. 'Urwah yang yatim sejak balita, hanya bisa berdendang meratap sepi.

Bagi penduduk arab, kehormatan adalah segalanya. 'Urwah dinilainya telah merobek kehormatan itu. 'Urwah gegabah berdendang. Menggulung rindu dan menyematkan kata cinta untuk 'Afra. Hingga tetangganya ramai berdendang syair itu. "Ini aib, dan itu tak boleh terjadi" begitu pikir sang paman.

'Urwah pasrah dan tersungkur. Ia jatuh sakit dan tutup usia. 'Afrapun tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya bersanding dengan lelaki lain pilihan ayahnya. 'Afra meratap di depan liang kekasihnya, lalu jatuh tak sadarkan diri untuk selamanya. Tragis! Tapi, begitulah norma. Seringkali buta, hingga tak jarang nyawa taruhannya.