Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Refleksi. Tampilkan semua postingan

07 Maret 2010

Warna-warni Proses

Seperti berjalan mengitari jagad raya. Ya, sebut saja begitu. Berbekal sebuntal geram dan segenggam angan. Berjalan dengan semua dimensinya tentu punya tujuan, yaitu sampai dengan selamat.

Begitu juga dengan perjalanan hidup, ia juga punya akhir. Ada muaranya. Orang bilang, ketika akan memulai sesuatu, bayangkanlah akhirnya. Pikirkan selesainya. Sebelum berjalan sudah sampai tujuan, begitu kira-kira.

Filosofi ini bagus juga unik. Filosofi selesai sebelum usai, begitu saya menyebutnya. Tapi, saya lebih percaya dengan proses. Lebih nyaman dengan menyelami setiap inci dari proses selesai menjadi benar-benar usai.

Dalam menyelami proses, kita tak mesti lurus ke depan, kadangkala tergelitik untuk berbelok ke kanan dan sesekali mencicipi panorama di kiri. Penuh warna rasanya bila terus bercumbu dengan panorama kiri-kanan. Tentunya, tanpa alpa bahwa kita punya tujuan. Kita punya muara.

Panorama kiri-kanan itulah yang seringkali bikin gagap. Membuat jarak tempuh menjadi panjang dan lama. Menjadi panjang tapi penuh warna, ya saya suka itu. Melengkapi perjalanan dengan cerita, bahwa di perempatan itu ada ini atau di pertigaan ini ada itu.

Tapi, sekali lagi saya tak pernah lupa, bahwa suatu saat saya harus sampai di muara, harus berteduh di balik mayapada. Dan tentunya harus menunaikan semuanya dengan purnausaha. Ya, hanya usaha karena sempurna hanya milik-Nya.

13 Mei 2009

Aib

Dalam tradisi sajak arab ada yang disebut ritsa'. Ratapan, ya begitulah adanya syair itu. Mendayu-dayu atau mellow, seperti irama musik yang meliuk tapi tak membahana. Umumnya, syair jenis ini dibuat karena merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga. Salam pembukanya adalah kenangan. Biasanya, kenangan pada hal-hal yang melekat padanya, bisa saja berupa puing rumah, repihan surat atau hanya serpihan imaji.

Hilang benda bisa dicari, hilang rasa kemana hendak digali. Semangat inilah yang membuat para pujangga mencipta syair, awalnya memuji (madh) lalu berakhir ratapan (ritsa'). Mereka, dengan segenap jiwa mencipta, namun ujungnya hanya dicibir gila dan melanggar norma, hingga tak jarang berakhir nestapa.

'Urwah bin Hazm (650 H) adalah seorang pujangga yang berkalang tanah ketika belia. Penyebabnya bukanlah liver atau penyakit kronis lainnya. Ia hanya mendamba 'Afra, putri pamannya.

Mulanya, 'Urwah mendendang syair untuk memikat 'Afra. Sebagai belia, keduanya terpikat rasa. Nama 'Afra menjadi tenar dalam lantunan syair 'Urwah. Pendudukpun mulai gaduh. Pasalnya, 'Urwah berani menyematkan cinta dalam setiap syairnya. Tak ayal, pendudukpun ribut dan syair 'Urwah menjadi buah bibir.

'Urwah memberanikan diri meminang sepupunya. Tapi, apa hendak dikata, sang paman tak terima.

Sang Paman meminta 'Urwah mahar yang tak mungkin dibayar. Delapan puluh ekor unta! Jumlah yang fantastis, maka mengalirlah 'curhat' 'Urwa pada 'Afra:

Duhai 'Afra...
Delapan puluh paman bebankan padaku, sedang diriku hanya miliki delapan
Aku dibebani sesuatu yang mustahil, meski kedua tanganku menjelma gunung menjulang sekalipun
Hatiku seperti terselip di sayap merpati dan kepakannya membuatku berguncang

Pamannya tahu, 'Urwah tak mampu membayar mahar sebanyak itu. Ia menjelma raja meski pada keponakannya. 'Urwah yang yatim sejak balita, hanya bisa berdendang meratap sepi.

Bagi penduduk arab, kehormatan adalah segalanya. 'Urwah dinilainya telah merobek kehormatan itu. 'Urwah gegabah berdendang. Menggulung rindu dan menyematkan kata cinta untuk 'Afra. Hingga tetangganya ramai berdendang syair itu. "Ini aib, dan itu tak boleh terjadi" begitu pikir sang paman.

'Urwah pasrah dan tersungkur. Ia jatuh sakit dan tutup usia. 'Afrapun tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya bersanding dengan lelaki lain pilihan ayahnya. 'Afra meratap di depan liang kekasihnya, lalu jatuh tak sadarkan diri untuk selamanya. Tragis! Tapi, begitulah norma. Seringkali buta, hingga tak jarang nyawa taruhannya.

28 Februari 2009

Enam Sembilan

Warna dominan tubuhnya kuning menyala. Garis hijau tipis menjadi pemanis. Lalu, ada warna oranye di bagian bawah. Paduan warna terang yang unik. Ukurannya tak seberapa. Hanya dua puluh tiga kursi tersedia. Di sisi kursi pak sopir hanya ada satu kursi. Lalu, berderat kebelakang, di sisi kiri dan kanan adalah kursi penumpang. bagian depan kacanya tertera angka 69 dengan ukuran jumbo. Disamping kiri-kanannya tertulis tujuan bus itu. Katameah di kiri dan Hayyu ‘Asyir di kanan. Samping kanan pintu masuk tertulis haiatun naql lil mudun al-‘umraniyah jadidah (Bus angkutan untuk pemukiman baru).


Ketika akan pulang dari arah Hayyu ‘Asyir, saya selalu mencari bus dengan tipe di atas. Di halte ini, semua bus mempunyai spesifikasi itu. Tapi, setiap bus mempunyai nomor dengan tujuan berbeda dan enam sembilan adalah yang saya cari. Selain tarif ongkos yang murah, bus ini ‘nyaman’, maklum masih terbilang baru. Ia juga yang bisa membuat saya duduk manis, sekali duduk pasang earphone lalu sampai rumah.

Malam ini, saya benar-benar sendiri. Tak ada satupun warga Asia yang menungu di halte bus. Setelah Enam Sembilan tiba, saya berlari kecil menyongsongnya. Posisi menentukan prestasi begitu kata orang, tapi di dalam bus tentunya posisi menentukan kenyamanan.

Adalah menjadi maklum di Kairo, bila ingin duduk manis di bus. Carilah tempat duduk samping jendela dan agak ke belakang. Bukan tanpa sebab, warga Mesir adalah orang-orang yang punya sensitifitas tinggi, toleran dan perhatian. Bila duduk di depan, posisi kita ‘terancam’. Dalam artian, sewaktu-waktu kita harus siap merelakan kursi untuk ibu-ibu, manula atau orang cacat.

Kalau tidak demikian, berarti kita memilih posisi ‘terancam’. Posisi ‘terancam’ bila duduk di depan atau dalam keadaan berdiri sekalipun. Berdiri ‘terancam’ bila berdiri dengan kaum hawa di kanan-kiri. Wah, bisa nggak leluasa gerak. Kesentuh sedikit, kita akan mendapatkan pelototan. Kalau kebanyakan, bisa-bisa jadi makian. Ya, begitulah kaum hawa Mesir memang sensi, apalagi akhir-akhir ini at-taharrusy al-jinsi sedang marak (kalau di Amrik dikenal dengan Sexual Harrassment). Saya selalu menghindari posisi dikira hidung belang ini. Tak hanya orang asing, pribumi juga sering menjadi omelan empuk kaum hawa, terutama ibu-ibu yang sudah berumur.

Malam ini, saya benar-benar sendiri. Duduk di deretan belakang. Satu bangku sebelum akhir. Alunan Gita Gutawa dengan lagu sempurna telah lama mengalir dari mp3 putih di saku jaket. Suasana bus hampir penuh ketika itu. Tiba-tiba ada seorang laki-laki. Mungkin baru 35 tahun. Tapi, kerut di wajahnya tak menunjukkan itu. Dia datang menggandeng seorang wanita. Jelas itu istrinya, sedang menggendong bayi, mungkin pulang berobat. Kerut di wajahnya makin tampak ketika melihat kursi bus hampir penuh. Hanya ada dua kursi kosong di samping kanan saya. Itupun tak bersebelahan. Jadi mereka tak bisa duduk berdua. Kursi di samping sayapun masih kosong. Akhirnya, saya persilahkan pasangan itu duduk di kursi saya.

Sepuluh menit kemudian, pak sopir mulai keliling menagih ongkos dan diganti selembar karcis. Untuk bus ukuran kecil, memang tak ada kondektur, jadi sopir punya tugas ganda. Seluruh kursi telah terisi, beruntung saya pindah ke paling belakang, karena beberapa saat sebelum jalan, ada perempuan berumur yang berdiri tepat di samping kursi pertama saya. Si ibu tak mungkin minta kursi, karena yang duduk sedang gendong bayi, lagi sakit pula. Minta kursi ke belakang ya nggak mungkin lah (sekali-kali kek berdiri hehehe).

Penumpang bus ini beragam. Dari pria parlente berdasi hingga nenek bawa panci. Tak hanya itu, dari 'aksesoris' yang dibawa pun aneh-aneh. Penumpang, umumnya adalah pekerja bangunan di kawasan baru. Sejak beberapa tahun ini, Mesir sedang menggalakkan pemekaran wilayah besar-besaran. Gurun-gurun yang tandus disulap menjadi pemukiman nyaman berkelas. Uniknya, para pekerja kasar ini membawa peralatan mereka ke dalam bus. Palu godam, paku baja yang besar untuk beton, mesin kikir dan masih banyak peralatan lain. Belum lagi barang belanjaan, seperti sayuran, roti hingga telor juga mereka bawa. Intinya bus ini memang seru!

Bus melaju dengan kecepatan sedang. Musik dari mp3 terus mengalun. Di pojok belakang terdapat lima kursi. Saya paling ujung. Dua kursi di samping saya dua remaja Mesir sedang asyik bercengkrama ngomong kerjaan, tampaknya mereka bersaudara. Begitu pula rekan di sampingnya, mereka asyik tertawa entah apa yang menjadi bahannya. Tepat di depannya remaja lain sedang asyik menimang NOKIA N73, saya dapat menerka apa yang akan dilakukannya. Pelan tapi pasti, dia pencet sana-sini dan akhirnya mengalunlah suara cempreng Hakim, seorang penyanyi musik sya’bi asal Aswan itu.

Musik Sya’bi disenangi laiknya dangdut di indonesia. Musiknya gaduh, suara gendang dan Oud (gitar arab) dipadu dengan senar melodi dicabik-cabik tentunya dengan irama yang memekakkan telinga. Dia tampak senang, penumpang yang lainpun terlihat cuek mendengar suara Hakim dari load speaker N73. Sementara itu, sopir berteriak elli thali’ yab’at. “Woii..yang baru naik, ongkosnya” begitu kira-kira teriakan sopir itu.

Teriakan sopir bukan tanpa alasan. Tapi, bukan pula takut penumpang tak bayar. Dia hanya sekedar mengingatkan karena penumpang yang berjubel. Warga mesir terkenal jujur, tak ada kondektur seperti inipun mereka tetap jujur bayar. Bila telah duduk dan belum bayar, mereka akan mencolek rekan di depannya untuk memberikan ongkos ke sopir. Begitu pula bila ada sisa uang atau biasa kita sebut kembalian. Sopir memberikannya pada penumpang dibelakangnya hingga sampai pada si empunya. Semua itu berjalan biasa dan tertib. Tak ada sisa yang tak sampai meski duduk di kursi paling belakang sekalipun.

Namun, bila penumpang berjubel, sopir bisa jadi menghentikan mobil dan menertibkan penumpang seraya menagih ongkos. Bukan hanya takut tak bayar, jumlah penumpang di luar kemampuan angkut, jadi harus benar-benar ditertibkan. Idealnya bus diisi maksimal 30 orang. Tapi, bila sedang ramai 40 orang bisa berjejal di dalam bus.

Begitulah dinamika enam sembilan. Bus kaum urban di pinggiran Kairo. Seorang pakar psikologi Mesir; Dr. Ahmed ‘Ukasyah mengatakan bahwa tipologi umum warga Mesir adalah kesederhanaan dalam segala hal, suka berbagi, sensitifitas yang tinggi dan tentunya kekerabatan yang kental. ‘Ukasyah benar dan saya melihatnya di sini, di Bus enam sembilan. Bus aman dengan isi beragam, dan tentunya bikin saya lebih tenang dengar alunan musik mp3, ah sudahlah halte depan saya turun dan sampai jumpa enam sembilan.